Sabtu, 29 Oktober 2011

OTONOMI DAN KEBOHONGAN PUBLIK

Era otonomi adalah era kemandirian suatu daerah dalam mengelola segala macam potensi yang ada didaerahnya, demi terciptanya kemaslahatan bagi suatu daerah. Hal ini seakan menjawab segala impian masyarakat akan terciptanya tatanan masyarakat yang benar-benar berasaskan norma yang terkandung dalam butir-butir ideologi negara yaitu pancasila, salah satunya “kemanusiaan yang adil dan beradab, atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Mungkin masyarakat luas masih banyak melihat ketimpangan yang terjadi dalam dua butir ideologi negara ini, dan berharap otonomi daerah adalah salah satu jawaban yang akan menyelesaikan persoalan tersebut.

Secara garis besar otonomi daerah adalah salah satu proses pengelolaan secara mandiri suatu daerah dengan sistem bottom-up, atau yang berarti asprasi masyarakat (bawah) harus menjadi dasar kebijakan bagi kalangan birokrat (atas) agar terciptanya transparansi untuk menciptakan suatu tatanan kepemerintahan yang baik. Namun harapan sepertinya selalu saja berbeda dengan kenyataan atau realita yang terjadi, masih banyak hal yang menurut masyarakat belum dirasakan maksimal dari pengaplikasian otonomi daerah yang efektif.
menurut Syafi’I (2008), mengatakan bahwa ada beberapa karakteristik patologis (penyakit) para birokrat yang selama ini banyak ditemukan didalam pemerintahan, salah satunya adalah:
1.      Kebiasaan menunggu petunjuk pengarahan
2.      Loyalitas kepada individu bukan kepada tugas organisasi
3.      Keinginan untuk melayani masih rendah
4.      Belum berorientasi pada prestasi
5.      Budaya ekonomi biaya tinggi
6.      Jumlah pegawai negeri relatif banyak tetapi kurang bermutu dan asal jadi.
Hal tersebut merupakan salah satu ketimpangan dari cita-cita suatu negara, disisi lain masyarakat sangat mengharapkan otonomi benar-benar menjadi solusi, namun para pengaplikasi kebijakan (birokrat) masih belum sembuh dari penyakit yang mereka derita.
            Banyak hal-hal lain yang menjadikan contoh seolah-olah diera otonomi hanyalah menjadi zaman kebohongan publik. Beberapa  pemerintah daerah berbondong-bondong mengatakan kepada berbagai media bahwa daerahnya adalah salah satu daerah yang telah memiliki prestasi dalam peningkatan taraf ekonomi, telah menekan angka kemiskinan, dan pemerataan pembangunan yang telah dirasakan secara menyeluruh didaerahnya. Namun ketika proses penganggaran untuk pemerintah daerah oleh pemerintah pusat dilaksanakan, pemerintah daerah berbondong-bondong pula meminta sebesar-besarnya anggaran dengan alasan pembangunan dan anggaran perbaikan ekonomi. Bukankan masyarakat telah melihat kebohongan publik yang nyata. Terlebih dengan maraknya proses pembangunan yang identik dengan masalah pandang bulu (nepotisme), dimana suatu daerah akan mendapatkan fasilitas dan pelayanan pembanguna jika daerah tersebut memberikan suara yang besar dalam pemenangan pemilihan umum.
            Sungguh ironis, sebuah formulasi (konsep) yang sangat baik untuk membangun daerah dengan pintu otonomi, hanya dijadikan alat untuk mengokohkan kekuasaan namun berbalik arah dengan kenyataan ketimpangan didalam masyarakat. Otonomi bukanlah sebuah masa (era) yang didalamnya penuh dengan perapian-perapian secara administratif belaka. Harus ada suatu keseimbangan (balance) yang bersifat aplikatif dan nyata terlihat didalam masyarakat. Yang sering terjadi adalah pemerintah daerah memiliki rancangan pembangunan yang sangat luar biasa, segala sesuatu dibahas dengan menghabiskan waktu, uang, pikiran dan tenaga demi terciptanya pembangunan yang pesat, namun semua terkesan sia-sia dengan tanpa disertai oleh hasil yang nyata (rill) yang benar-benar bisa dirasakan oleh masyarakat secara umum.
            Kembalikan lah hakikat otonomi sebagai alat untuk menciptakan perubahan pembangunan bagi suatu daerah dan bukan hanya sebagai alat kebohongan publik. Pada intinya patologis (penyakit) birokrasi, KKN dan lain-lain, adalah permasalahan yang telah tersistem diera otonomi. Apabila budaya buruk elit politik masih menjadikan profil yang terus melekat ditubuh para birokrat, maka masyarakat Indonesia secara keseluruhan akan menjadi objek dari kebohongan publik hingga akhir zaman kelak.[]

Tidak ada komentar: